Pentolan Demokrat Tersengat Korupsi Listrik | ||||||
Di tengah kegembiraan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PDSusilo Bambang Yudhoyono mantu, kabar buruk menerpa partai berlambang Mercy ini. Salah satu ‘pentolan’ Demokrat, Sutan Bhatoegana terseret kasus korupsi pengadaan solar home system (SHS) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Anggota DPR RI ini diduga menitipkan sebuah perusahaan untuk dimenangk), an dalam lelang proyek senilai Rp 526 miliar itu. Kondisi makin buruk karena di Semarang, anggota DPRD dari fraksi Demokrat, Martono ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (24/11) petang terkait suap APBD 2012 (berita lengkap baca halaman 2). Ironisnya, sadar atau tidak ini menggambarkan bila korupsi telah mengerogoti politisi mulai dari level kabupaten/kota hingga Senayan. “ Memang tindak pidana korupsi di Indonesia sudah berada dalam level yang sangat memprihatinkan karena dilakukan secara merata oleh pejabat pusat, daerah, penegak hukum dan swasta, ujar Ketua KPK Busyro Muqoddas, Jumat (25/11). Sementara, ikhwal keterlibatan Sutan diungkapkan oleh Sofyan Kasim, pengacara terdakwa Ridwan Sanjaya. "Yang memesan (proyek) itu ada Sutan Bhatoegana," katanya. Sekadar diketahui, Ridwan kala kasus terjadi menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek pengadaan dan pemasangan Solar Home System Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Saat perkara terjadi, Sutan adalah anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat. Ia juga dikenal sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat. Sutan menitip perusahaan tidak langsung ke kliennya, tetapi melalui bekas Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian ESDM, Jacobus Purwono. Keterlibatan Sutan cs dalam proyek tersebut, kata Sofyan, sudah diungkapkan kliennya dalam penyidikan di KPK. Namun ia heran mengapa keterangan yang termuat dalam berita acara pemeriksaan tidak mencantumkan nama Sutan dalam dakwaan jaksa. Dikatakannya, dalam proyek pada tahun 2009 itu peran Sutan tak langsung turun ke panitia pengadaan. Sutan dikatakan menitipkan melalui bekas Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian ESDM Jacobus Purwono. Ridwan adalah pejabat pembuat komitmen proyek. "Ada perusahaan teman dekat Pak Dirjen yang seharusnya enggak lolos tapi diloloskan," ujarnya. Perusahaan yang dititipkan adalah PT Ridho Tehnik untuk memegang paket proyek di Aceh, PT Paesa Pasindo Engineering di paket Sumatera Selatan dan Bengkulu, dan PT Berdikari Utama Jaya di paket Sumatera Barat. Jaksa K. M. S. Roni mengatakan tak tahu soal keterlibatan Sutan. "Dia (Ridwan) menyebut lembaganya. Bagaimana kami mau cari? Lihat saja nanti di persidangan," ujarnya. Tapi di dalam dokumen dinukil dari Tempo, jelas-jelas Ridwan menyebutkan keterlibatan Sutan dan beberapa anggota DPR lain. Dokumen itu menyebutkan keterangan Ridwan bahwa PT Paesa adalah perusahaan Sutan. Sutan membantah keterlibatannya dan mengatakan bukan pemilik PT Paesa. Dia mengatakan dirinya justru berperan membongkar kasus tersebut. "Kok malah saya yang dituduh, bagaimana ini?" katanya kemarin. Sutan membenarkan kenal dengan Jacobus. "Saya bermitra dengan Pak Jacobus sejak saya di Komisi VII (Komisi Energi)," kata dia. Yang terjadi, kata Sutan, pada 2009 dirinya diperkenalkan kepada dua utusan perusahaan yang katanya didiskualifikasi dari proyek secara tidak adil. Mereka berencana melaporkan Jacobus ke KPK. Sutan pun mengajak keduanya bertemu dengan Jacobus dan panitia tender. Saat itu diambil beberapa kesepakatan bahwa perusahaan itu tetap ikut tender. Tapi karena pemenang sudah ada, diputuskan untuk membagi rata Dua pekan kemudian, kata Sutan, kedua orang itu menghubunginya dan mengatakan panitia ingkar janji. Mereka pun melapor ke KPK. “Nah sejak itu, ya sudah jadilah itu barang (kasus proyek solar home system dibawa ke KPK hingga pengadilan), sampai Pak Jacobus dicopot dari jabatannya setahun lalu," kata Sutan. Proyek ini mencakup 28 paket pengadaan di semua provinsi di Indonesia, kecuali DKI Jakarta. Tapi di tengah proses lelang, panitia pengadaan mendapat "titipan" perusahaan. Dalam persidangan kemarin, saksi Budianto Hari Purnomo mengungkapkan terdakwa Ridwan mengintervensi proses lelang dengan cara mengkatrol nilai teknis perusahaan titipan. Untuk perintah ini, kata Budianto, imbalannya Rp 100 juta. Tapi separuhnya, kata dia, sudah dikembalikan kepada terdakwa lantaran takut. Ridwan, yang diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara menyanggah keterangan Budianto. Jacobus telah ditetapkan sebagai tersangka, namun belum ditahan. Kasus itu diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 131,28 miliar. Proyek Lain Nama Sutan Bhatoegana dikenal bukan hanya dalam kasus proyek solar home system di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Identitasnya juga disebut sebagai kenalan Daniel Sinambela, terdakwa kasus penipuan proyek batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Surya Suralaya. Keakraban Daniel dengan salah satu Ketua Partai Demokrat itu hampir sama dengan M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Nazar kini tersangka kasus proyek wisma atlet SEA Games di Palembang. Daniel sendiri adalah kader Partai Demokrat dari Medan, Sumatera Utara. ”Yang membawa Daniel dari Medan itu Sutan Bhatoegana. Dia yang mengenalkan Daniel dengan Nazaruddin,” kata Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Daniel. Singkat cerita, Daniel melalui perusahannya, PT Matahari Anugrah, menjadi pemenang tender pengadaan batu bara kalori 500 ribu ton di PT Indonesia Power. Tapi belakangan perkenalan itu berujung pada laporan Nazaruddin terhadap Daniel ke polisi hingga ke pengadilan. Gara-garanya, Daniel dituding menggelapkan uang Yulianis, staf keuangan Nazaruddin di Grup Permai. Karena itulah Kamaruddin pernah mengajukan Sutan sebagai saksi dalam penyidikan kasus kliennya di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Harapannya, Sutan akan bisa menjelaskan bahwa kliennya berbisnis dengan Nazaruddin, bukan dengan Yulianis, seperti yang dituduhkan. Terkait ini pun Sutan dengan enteng menepis tudingan itu. ”Silakan saja orang membawa-bawa nama saya. Tidak ada masalah,” kata Sutan. Anggota Komisi Energi DPR itu pun menantang orang-orang yang menyebut namanya agar membuktikan tuduhan itu. Sutan pun tak merasa takut dan keberatan jika dirinya diperiksa KPK terkait tuduhan-tuduhan tersebut. ”Saya hanya takut pada Allah. Itu (tuduhan) fitnah. ”Sekadar diketahui, data KPK menunjukkan korupsi di tingkat pusat, mayoritas dilakukan oleh pejabat di level eselon I, II, dan III dan hakim. Pejabat eselon I, II, III yang diproses KPK sampai saat ini berjumlah 84 orang atau mencapai 34,29% dari total kasus yang ditangani. Pada posisi kedua, kejahatan korupsi dilakukan pihak swasta yang mencapai 44 orang atau sekitar 17,96%. Di lain pihak, anggota DPR dan DPRD yang telah diproses KPK mencapai 43 orang atau setara dengan 17,55% dari total kasus. Kepala daerah setingkat gubernur yang terjerat kasus korupsi mencapai delapan orang atau setara dengan 3,27%, sedangkan bupati/wali kota sebanyak 22 orang (8,98%).tmp,ins |
Pengertian korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka
tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagaiberikut:
perbuatan melawan hukum;
* penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
* memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
* merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
* memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
* penggelapan dalam jabatan;
* pemerasan dalam jabatan;
* ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
* menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah, pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
dan tentu kondisi-kondisi yang bisa memenuhi seseorang bermain korupsi tentu ada dong yaitu:
* Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
* Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
* Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
* Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
* Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
* Lemahnya ketertiban hukum.
* Lemahnya profesi hukum.
* Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
* Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
* Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
* Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Analisis :
Dalam Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Dalam Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Hubungan Etika Bisnis dan korupsi
Dampak korupsi sudah jelas! Korupsi bikin mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang dan jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktik suap-menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.
Etika merupakan filsafat / pemikiran kritis dan rasional mengenal nilai dan norma moral yg menentukan dan terwujud dalam sikap dan pada perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.
Mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan.
Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral.
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral. Praktik curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga masyarakat dan negara. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di banyak perusahaan.
Pelanggaran etik bisnis di perusahaan memang banyak, tetapi upaya untuk menegakan etik perlu digalakkan. Misalkan, perusahaan tidak perlu berbuat curang untuk meraih kemenangan. Hubungan yang tidak transparan dapat menimbulkan hubungan istimewa atau kolusi dan memberikan peluang untuk korupsi.
sumber : http://www.surabayapost.co.id